Jumat, 18 September 2009

Temanku mati terbakar

Aku tak tahu, bagaimana harus menuturkan kisah ini pada anda. Kisah yang pernah kualami sendiri beberapa tahun yang lalu, sehinngga mengubah total perjalanan hidupku. Sebenarnya aku tidak menceritakannya, tapi demi tanggung jawab dihadapan Allah, demi peringatan bagi para pemuda yang mendurhakai Allah dan demi pelajaran bagi para gadis yang mengejar bayangan semu, yang disebut cinta, maka kuungkapkan kisah ini.
Ketika itu, kami tiga sekawan. Yang mengumpulkan kami adalah kesamaan nafsu dan kesia-siaan. Oh tidak, kami berempat. Satunya lagi adalah setan.
Kami pergi berburu gadis-gadis. Mereka kami rayu dengan kata-kata manis, hinnga mereka takluk, lalu kami bawa ke sebuah taman yang jauh terpencil. Di sana, kami berubah menjadi serigala-serigala yang tak menaruh belas kasihan mendengar rintihan permohonan mereka, hati dan perasaan kami sudah mati.
Begitulah hari-hari kami di taman, di tenda, atau dalam mobil yang diparkir dipinggir pantai. Sampai suatu hari yang tak mungkin pernah saya melupakannya. Seperti biasa kami pergi ke taman. Seperti biasa pula, masing-masing kami menyantap satu mangsa gadis, ditemani minuman laknat. Satu hal kami lupa saat itu, makanan. Segera salah seorang dari kami bergegas membeli makanan dengan mengendarai mobilnya. Saat ia berangkat, jam menunjukkan pukul enam sore. Beberapa jam berlalu, tapi teman kami itu belum kembali. Pukul sepuluh malam, hatiku mulai tak enak dan gusar. Maka aku segera membawa mobil untuk mencarinya. Ditengah perjalanan, dikejauhan aku melihat jilatan api. Aku mencoba mendekat.
Astaghfirullah, aku hampir tak pecaya dengan yang kulihat. Ternyata api itu bersumber dari mobil temanku yang terbalik dan terbakar. Aku panik seperti orang gila. Aku segera mengeluarkan tubuh temanku dari mobilnya yang masih menyala. Aku ngeri tatkala melihat separuh tubuhnya masak terpanggang api. Kubopong tubuhnya lalu kuletakkan di tanah.
Sejenak kemudian, dia berusaha membuka kedua belah matanya, ia berbisik lirih: “Api… api… !”
Aku memutuskan untuk segera membawanya kerumah sakit dengan mobilku. Tetapi dengan suara campur tangis, ia mencegah: “Tak ada gunanya … aku takkan sampai…!”
Air mataku tumpah, aku harus menyaksikan temanku meninggal di hadapanku. Ditengah kepanikanku, tiba-tiba ia berteriak lemah: “Apa yang mesti kukatakan pada-Nya? Apa yang mesti kukatakan pada-Nya?”
Aku memandanginya penuh keheranan. “Siapa?”, tanyaku. Dengan suara yang seakan berasal dari sumur yang amat dalam, dia menjawab: “Allah!”
Aku merinding ketakutan. Tubuh dan perasaanku terguncang keras. Tiba-tiba temanku itu menjerit, gemanya menyelusup ke setiap relung malam yang gelap gulita, lalu kudengar tarikan nafasnya yang terakhir. Innaalillaahi wa’innaa ilaihi raaji’uun.
Setelah itu hari-hari berlalu seperti sedia kala, tetapi bayangan temanku yang meninggal, jerit kesakitannya, api yang membakarnya, dan lolongannya “Apa yang mesti kukatakan pada-Nya? Apa yang mesti kukatakan pada-Nya?”, seakan terus membuntuti setiap gerak dan diamku.
Pada diriku aku bertanya: “Aku,… apa yang harus kukatakan pada-Nya?”
Air mataku menetes lalu sebuah getaran aneh menjalari jiwaku. Saat puncak perenungan itulah, sayup-sayup aku mendengar adzan shubuh menggema.
Aku merasa bahwa adzan itu hanya ditujukan pada diriku saja, mengajakku menyingkap fase kehidupanku yang kelam, mengajakku pada jalan cahaya dan hidayah. Aku segera bangkit, mandi dan wudhu, mensucikan tubuhku dari noda-noda kehinaan yang menenggelamkanku selama bertahun-tahun.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi meninggalkan sholat. Aku memuji Allah, yang tiada yang layak dipuji selain Dia. Aku telah menjadi manusia lain. Maha suci Allah yang mengubah berbagai keadaan. Dengan seizin Allah, aku telah menunaikan umrah. Insya Allah aku akan melaksanakan haji dalam waktu dekat, siapa yang tahu? Umur ada ditangan Allah.

Diambil dari buku : ukhti, apa yang menghalangimu untuk berhijab?

Read More..