Sabtu, 13 Juni 2009

Menjadi Ibu

      Menjadi ibu. Bagi kita adalah mimpi – mimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta, dan asahan rasa. Seruak cita itu adalah fitrah paling indah yang dikaruniakan Allah. Kecenderungan, rasa, kemuliaan!Ibu..! Mulia cukup dengan telapak kaki perjuangan. Karena tak seorang pria pun, memiliki keadaan ini: surga di telapak kaki. Tak satu pria pun. Demi Allah, tak satu pria pun..!

Ibu..!

      Panggilan yang begitu menggetarkan, membiruharu, menggemakan rasa terdalam di diri setiap wanita. Selalu dan senantiasa. Ada nuansa, cita, imaji, dan gairah setiap kali kata tiga huruf plus dua titik dan tanda seru itu diteriakkan oleh sosok – sosok mungil yang menyambut kehadiran.

Ibu..!

      Ini kata tentang penegasan madrasah agung. Tempat anak – anak mempertanyakan semesta dengan bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Ini dermaga paling luas saat mereka rasa teraniaya. Ini belai paing menentramkan saat mereka gelisah. Dan ini dekapan paling memberi rasa aman saat mereka ketakutan. Ibu, perpustakan paling lengkap, kelas paling nyaman, lapangan paling lapang, tak pernah ia bisa digantikan oleh gedung – gedung tak bernyawa.

Ibu..!

      Panggilan yang meneguhkan status kemanusiaan. Dan kehormatan. Ibumu disebut tiga kali di depan, baru ayahmu menyusul kemudian. Begitulah Rasulullah menegaskan. Ia juga panggilan yang membawa makna perjuangan. Pegalnya membawa kandungan, susahnya posisi berbaring, dan sakitnya melahirkan. Tapi juga senyum manis di saat berdarah – darah mendengar tangis sang putera pecah.

Ibu..!

      Banyak wanita yang kini enggan menjadi kata ini, maka kata itu pun enggan menjadi mereka. Betapa sulit meminta wanitia bersedia punya anak di Singapura misalnya. Ketika mereka menolak janji – janji kata itu, kata Ustad Anis Matta dalam Ayah, menganggap sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara, kta itu justru enggan membantu mereka melepaskan mereka dari jeratan kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengatan matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu hati, berlabuh dari galau kehidupan.

Ibu..!

      Mungkin memang tak sesederhana itu. Karena posisi ibu adalah anugerah, yang keimanan pun bukan jaminan Allah pasti mengaruniakannya pada kita. Persis sebagaimana ‘Aisyah, Hafshah, Zainab binti Jahsy, dan lainnya. Ya, tapi mereka kan ummahatul mukminin, ibu dari semua orang beriman, kata kita. Pada posisi ini, memang. Tetapi mengandung, melahirkan, menyusui, menimbang adalah bagian dari saat yang dinanti bersama hakikat kata ibu..! itu, yang juga tak dirasai oleh ‘Aisyah sekalipun..

      Atau kadang penantian panjang, kegelisahan, kecemasan, dan kata seterusnya jika panggilan itu tak segera hadir adalah ujian lain dari Allah. Alasan kesehatan, kerawanan melahirkan pada usia tertentu, menjadi gurita gurita kecemasan lain yang mencoraki ujian itu. Lalu Allah menjawab diantara doa hambaNya, istri Ibrahim dengan si shalih Ishaq, istri Imron dengan si suci Maryam, dan istri Zakariyya dengan si ‘alim Yahya. Setelah penanitan panjang, doa yang menghiba, dan rasa yang tersembilu..

Ibu..!

      Lepas dari itu, sekali lagi, adalah menakjubkan setiap urusan orang mukmin. Persis seperti kata Rasulullah, menakjubkan! Karena setiap halnya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika disinggahi nikmat, ia bersyukur, maka kesyukuran itu baik baginya. Jika ditamui musibah ia bersabar, maka sabar itu baik baginya. Jika sabar dan syukur itu dua ekor tunggangan, kata Umar, aku tak peduli harus mengendarai yang mana..
Menjadi ibu hakiki, yang melahirkan atau tidak, setelah ikhtiyar paling gigih, doa paling tulus, dan tawakkal paling terpasrah, adalah kemuliaan tanpa berkurang sepeserpun. Tidak sedikit pun. Semuanya mulia.

Ibu..!

      Kita akan berjumpa dan meniti kemuliaan – kemuliaan beliau, mungkin diwaktu lain, di episode lan, insyaallah. Sekadar agar bidadari cemburu padamu, dengan menjadi ibu kau takkan tersaingi olehnya selama – lamanya. Ya. Ibu, melodi paling harmoni yang menggemakan jagad dengan jihad agungnya.


Dikutip dari buku: Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim
by. Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisikan komentar disini: